
Ini adalah pengalaman pertama saya di forum GNOME summit. Ini juga pengalaman pertama saya di Asia Summit. Saya hanya bagian kecil dari acara tingkat Asia ini.
Gnome Asia Summit ini merupakan salah satu konferensi tahunan GNOME untuk kawasan Asia. Acara ini berfokus pada desktop GNOME serta aplikasi dan alat pengembangan platform. Konferensi ini akan mempertemukan komunitas GNOME di Asia untuk menyediakan forum bagi pengguna, pengembang, pemimpin yayasan, pemerintah, dan pemilik bisnis untuk membahas teknologi saat ini dan perkembangan di masa depan.
Gnome Asia Summit 2019 diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Gresik pada tanggal 12 — 13 Oktober 2019. Tapi pada tanggal 11 sudah diawali dengan acara workshop penerjemahan dan pada tanggal 14 Oktober ada acara city tour. Pokonya super asyik, dech.
Sebelumnya saya mencoba ikut mengajukan usulan sebagai speaker pada sesi Light Talk. Sengaja saya ambil sesi yang paling singkat agar kemungkinan diterimanya lebih besar. Rencananya sih mau mengajukan usulan juga untuk sesi workshop juga, tapi tidak kesampaian.
Saya mulai galau, ketika baca email dari panitia yang memberitahu bahwa saya diterima sebagai salah satu speaker sesi Light Talk.
Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku; bagaimana caranya menyampaikan presentasi hanya dalam waktu 5 menit? Bagian mana yang lebih penting untuk disampaikan? Ini kan acara tingkat Asia, bagaimana kalau panitia mewajibkan presentasi dalam bahasa Inggris? Berangkat ke lokasi naik apa? Nginap di mana? Butuh uang berapa? Berangkat sendiri atau sama keluarga?….
Awalnya saya berencana berangkat ke lokasi acara, Gresik, naik bus Jepara — Surabaya Jumat pagi, 11 Oktober 2029. Tapi pagi itu saya harus kuliah dulu di Unisnu karena dapat tugas maju presentasi. Siangnya ada jadwal kuliah juga, tapi saya tidak berangkat. Siang itu, saya putuskan harus selesai membuat slide untuk presentasi.
Alhamdulillah panitia sudah menyediakan berkas template LibreOffice Impress. Jadi, saya tinggal memilih beberapa slide yang saya sukai dan menyunting tulisannya. Beberapakali saya memanfaatkan Google Translate untuk menyusun presentasi bahasa Inggris ini.
Berkas presentasi sudah jadi dan langsung saya kirim ke teman-teman agar dapat komentar dan koreksi bila ada yang salah terutama tata bahasanya.
Menurut teman-teman presentasiku kurang sesuai dengan judulnya; Open Source and Education on Indonesia.
Ya, semula, sesuai usulan yang saya ajukan, saya akan menyampaikan tentang beberapa kesimpulan saya tentang beberapa ironi penggunaan sistem operasi dan aplikasi komputer dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Menurut saya sistem operasi dan aplikasi berbayar lebih populer dan dominan di dunia pendidikan Indonesia dari pada yang open source. Hal ini mungkin karena yang berbayar sering didistribusikan dan digunakan seperti yang open source. Banyak yang bisa mendapatkan dan menggunakan Windows dan Ms Office tanpa repot membeli lisensinya.
Tapi itu mungkin hanya asumsi saya. Saya belum pernah melakukan penelitian ilmiah tentang itu. Maka saya ragu untuk menyampaikannya di GNOME Summit Asia.
Maka saya siasati menjadi materi curhat. Menurut saya, ini lebih aman dan lebih gampang. He he he.
Saat mendaftar sebagai speaker saya tulis:
Most Indonesian educators use and know proprietary OS and aplications better than open source one. For example; Windows, Ms Office, Corel Draw, Adobe Photo Shop, and Camtasia more populer than LibreOffice, Inkscape, Gimp, and OpenShot even though some open source aplication is multiplatform aplication.
Unfortunately the stakeholders less serious at these problems. The IGOS and Edusantara programs was already unsustainable. These are the irony of education at Indonesia.
Dan saat presentasi saya curhat bahwa saya sebagai bagian kecil dari dunia pendidikan yang menggunakan open source merasa sendirian, terasing, dan kurang perhatian dan pemerintah.
So, i need you
Kalimat itu yang bisa saya sampaikan untuk menunjukkan bahwa komunitas aplikasi open source harus lebih kompak dan saling berbagi sehingga para pengguna aplikasi open source tidak lagi merasa sendiri, terasing dan kurang perhatian.
Ternyata saya tidak sendiri.

Saya presentasi pada hari Sabtu sore. Dan malamnya ada pesan dari Franklin Weng lewat grup di Telegram:
“To Faiq Aminuddin (who gave lightning talk about open source and education in Indonesia), please contact with me if you would like to. Here we’ve done it for more than 10 years in Taiwan and I can share some experiences with you. Anyone who is interested in this topic can contact with me anytime too.”
Saya menanggapinya lewat jalur pribadi:
Most Indonesian educators use and know proprietary OS and aplications better than open source one. For example; Windows, Ms Office, Corel Draw, Adobe Photo Shop, and Camtasia more populer than LibreOffice, Inkscape, Gimp, and OpenShot even though some open source aplication is multiplatform aplication.
Unfortunately the stakeholders less serious at these problems. The IGOS and Edusantara programs was already unsustainable. These are the irony of education at Indonesia.
I am just a small part of the Indonesian education world. I am a teacher servant at MTs Irsyaduth Thullab in Tedunan village, Wedung, Demak, Central Java.
I am very comfortable using the BlankOn Linux operating system since version 7. Now BlankOn Linux is XI version.
There was little problems with the printer. Now the printer business is smoother. Now one of my problem is cannot sharing files between Linux and Windows easily/instanly.
Linux in the world of education is still a minority. Teachers are still more comfortable using Wind*ws that are already installed when buying a computer. If there is a computer that needs to be re-installed in my school, so I install a BlankOn/Linux, But sometimes we also replace BlankOn with Windows again.
However, almost all computers in my school are installed by LibreOffice. Some teachers also use LibreOffice Draw instead of Corel Draw. On some computers we also install Inkscape and Gimp.
I feel a lot of properitary software is treated like open source, (used without the hassle of buying a license).
Sometimes even using open source software is considered a troublesome step. I heard this opinion when looking for a guide to using Linux for UNBK (based computer final Exam). Government’s support for Linux users is not as complete as support for Windows users.
Fortunately, there are still communities that independently develop open source software for UNBK. We really hope the Indonesian open source community is getting bigger and more compact.
Berikut tanggapan beliau:
Hi Faiq, sorry not be able to reply as soon as possible.
The problems you said above are *exactly* the same in Taiwan. Although we have already promoted FOSS in schools for more than 10 years, the majority is still Windows with a lot of proprietary software.
But we have never given up. And gradually we could occasionally see some young people who have ever heard of ezgo (ezgo in Taiwan is just like BlankOn in Indonesia). So first I’d like to tell you, you’re not alone. Don’t need to feel alone or lonely. We all know the value of FOSS in education and we keep going on the path.
Then, in our tactics, we won’t try to negate the fact that they’re using pirated proprietary software. Instead, we try another way: we find many good FOSS for education, such as GCompris and Ktuberling for young, young kids, anki for vocabulary learning, Stellarium for astronomy, KmPlot and Geogebra for mathmatics, Kalzium for chemistry, … etc. We collected it in our ezgo system (you can collect them in your BlankOn too) and encourages teachers to use these software to furfill their teachings, also to let students explore themselves.
Besides FOSS, we also find very good public domain resources like PhET (https://phet.colorado.edu/), which provides many good animation simulations covering math, physics, chemistry, earth science, and biology. Now I keep maintaining the traditional Chinese translation of PhET. You can try it and introduce appropriate simulations to students and teachers.
We use new materials in our ezgo system and don’t specify it’s Linux and KDE desktop. We just tell users to try and use these software (of course including Gimp/Inkscape/Krita/Blender/…)
These years actually many parents (not teachers) appreciate ezgo very much because they think these software/games/simulations are good to their children.
We also have introduced the concept of ezgo to Ahmad Haris and the BlankOn team in around 2015. You can talk to Haris or Iwan for this too.
Don’t give up or feel depressive. You’re not alone. Let’s go together.
Mendapat Banyak Oleh-oleh
Pada hari pertama, Sabtu pagi saya sempat mengikuti beberapa sesi sebagai peserta; Sesinya pak Andika, pak Aftian, dan sesinya pak Iwan.
Saya sangat tertarik dengan sesinya pak Aftian. Beliau menyampaikan cara menata agar perangkat komputer GNOME dapat digunakan menulis pegon. Sesi pak Aftian ini ditindaklanjuti ide tersebut. Semoga lancar. Dan saya juga sangat agar penulisan aksara jawa (Hanacaraka) di GNOME bisa segera disempurnakan.
Selain mengikuti acara GNOME Asia Summit, saya sengaja menginap di tempat Bang Gofur. Teman saya yang satu ini sangat baik sekali. Beliau juga ahli komputer. Saya banyak belajar dari beliau. Beliau jugalah yang menjemput dan mengantar saya. Semoga Allah memberinya balasan yang lebih baik. Amin.
Sengaja beberapa souvenir dari acara GNOME Asia Summit saya tinggal di kamar tempat saya numpang menginap. Semoga bermanfaat.
Pokoke ikut GNOME Asia Summit asyik banget. Sure.
Semoga pada kesempatan berikutnya dapat lebih berkontribusi lagi.
